OTT Jaksa Terjadi Berulang di Banten, Bekasi, hingga Kalsel, Rahmad Sukendar: Ada Pola yang Tidak Pernah Dijelaskan ke Publik

JAKARTA ,Ard-news com— Penangkapan seorang jaksa dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Banten kembali mengguncang kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Kejaksaan Agung pun berjanji akan menangani perkara tersebut secara transparan. Namun janji itu justru menuai sorotan tajam, menyusul sederet kasus serupa yang sebelumnya juga terjadi di Bekasi dan Kalimantan Selatan (Kalsel).

Ketua Umum BPI KPNPA RI, Rahmad Sukendar, menilai kasus OTT jaksa yang berulang di berbagai daerah menunjukkan persoalan serius yang belum pernah diselesaikan secara tuntas. Ia menegaskan, setiap kali OTT terjadi dan melibatkan jaksa, pola penanganannya selalu sama: pernyataan normatif di awal, lalu narasi berubah seiring waktu.

“Kita bicara fakta. OTT terjadi di Banten, sebelumnya di Bekasi, lalu di Kalimantan Selatan. Tapi setiap kasus, ceritanya selalu berubah. Awalnya tegas, transparan, lalu muncul versi baru. Ini sudah menjadi pola, bukan kebetulan,” tegas Rahmad.

Rahmad menyoroti bahwa dalam kasus OTT Banten, sudah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan (sprindik). Menurutnya, sprindik adalah bukti bahwa perkara ini bukan isu ringan atau sekadar pelanggaran etik, melainkan dugaan tindak pidana serius.

“Kalau sudah ada sprindik, artinya ada peristiwa hukum yang kuat. Tapi kenapa setiap ada jaksa tertangkap OTT, narasi hukumnya selalu bergeser? Publik berhak curiga, ada apa di balik perubahan cerita itu?” ujarnya.

Ia membandingkan dengan kasus OTT di Bekasi dan Kalimantan Selatan yang juga sempat menggegerkan publik, namun dinilai tidak pernah dibuka secara terang-benderang hingga ke akar persoalan. Rahmad menilai, ketertutupan dan inkonsistensi informasi justru memperkuat dugaan adanya perlindungan internal.

“Kasus di Bekasi dan Kalsel menjadi catatan penting. Publik melihat prosesnya seolah senyap setelah ramai di awal. Ini yang membuat masyarakat bertanya-tanya, apakah penegakan hukum benar-benar berjalan, atau hanya berhenti di level tertentu?” kata Rahmad. Jum’at (19/12/25)

Menurut Rahmad, jaksa adalah simbol keadilan dan garda terdepan pemberantasan korupsi. Ketika justru terjerat OTT secara berulang di berbagai daerah, maka yang dipertaruhkan bukan hanya individu, tetapi marwah institusi penegak hukum itu sendiri.

“Kalau jaksa yang seharusnya menuntut koruptor malah tertangkap OTT, ini pukulan telak bagi kepercayaan publik. Jangan sampai ada kesan hukum tajam ke bawah tapi tumpul ke dalam,” tandasnya.

Rahmad mendesak agar seluruh kasus OTT jaksa—baik di Banten, Bekasi, maupun Kalimantan Selatan—ditangani secara terbuka dan konsisten, tanpa intervensi atau skenario perubahan cerita. Ia juga meminta KPK tetap memegang kendali penuh dalam proses hukum tersebut.

“Transparansi bukan sekadar janji di konferensi pers. Transparansi adalah membuka semuanya apa adanya, dari kronologi, aliran uang, sampai aktor yang terlibat. Kalau tidak, kepercayaan publik akan terus runtuh,” pungkas Rahmad.

Kasus-kasus OTT jaksa yang terjadi berulang di berbagai daerah ini menjadi ujian serius bagi reformasi hukum dan komitmen pemberantasan korupsi di Indonesia. Publik kini menunggu, apakah penegakan hukum benar-benar berjalan lurus, atau kembali berakhir dengan cerita yang berubah-ubah.

(Red)