Tuntut Keadilan dan Penegakan Hukum, Penjual Helm Merasa Dirugikan Soal Dugaan Laporan Palsu

Ard-news.com- JAKARTA – Muhidin Burhan diduga melakukan laporan palsu terhadap Iwan yang merupakan pedagang helm. Laporan palsu dibuat dikarenakan untuk mendapat keuntungan besar.

Pelapor melaporkan Iwan dengan dua tuduhan terkait pencucian uang dan merk Helm. Namun pelapor tidak bisa menunjukkan bukti -bukti untuk menguatkan laporan, karena bukti yang dijadikan bahan laporan hanya omongan saja dan bukti bon yang di bilang sudah bisa batal dalam hukum.

“Bon yang jadi bukti, tidak ada stempel dan tidak ada harga dan diajak hitungan selalu menolak, saya kira banyak ke janggalan dan tidak masuk akal atas pelaporan saya,” ungkap Iwan kepada media,Jumat (5/12/2025).

Mengenai bukti dari pelapor, Bon tidak tertera harga dan cap stempel bisa dijadikan bukti kuat pelapor. Sementara bukti terlapor lengkap, terkait HAKI merk helm baru terbit 2025 tapi kasus 2024 di naikin sebab helm tersebut tahun 2024 SDH tidak di perjual belikan lagi oleh terlapor.

Selain itu, yang membingungkan terlapor karena laporan yang dialami benar benar tidak ada cela dirinya jadi tersangka, namun kenapa dipaksakan jadi tersangka. Padahal semua bukti yang ada sudah di berikan kepada penyidik. Bahkan bukti milik terlapor lengkap dengan stempel.

Mengenai pelaporan HAKI surat haki  di tahun  2024 atas nama Edi Sutrisno dan baru diganti 2025. Pada kasus 2024 dan SNI atas nama PD Star Helmet atas nama pemilik Budi sampai hingga saat ini dan semua bukti yg menyatakan sudah didapatkan melalui Direktorat kekayaan intelektual

“Tapi saya dilaporkan Burhan Nurdin, kenapa tidak dilibatkan pemiliknya yang bernama Arno alpha tersebut,” katanya

Terkait auditor yang menagih dan di laporan polisi, adalah  UD SYH Helmet sedangkan terlapor sendiri mengakui bahwa dirinya tidak pernah hubungan sama mereka dan yang kirim barang adalah Anugerah Abadi Helm sama Bintang Victory Helmet.

Pelapor juga sudah melakukan surat jalan kosong yang tidak ada harga dan tidak ada nama PT UD SYH Helmet. Sehingga bisa di duga kasus ini sangat dipaksakan untuk penetapan hukum bagi terlapor.

“Ini bukti surat haki Bivi yang saya dapatkan langsung dari Direktorat kekayaan intelektual masih atas nama Edi Sutrisno di 2024 bukan nama pelapor muhidin burhan. Ini pabrik arno yang kirim saya barang dan mereka yang produksi,” paparnya.

“Pabriknya yang sekongkol namanya pabrik Takira produksi helm yang tidak sesuai SNI dan pak muhidin burhan pun produksi bivi tidak sesuai SNI.  Bukti helm yang di produksi tidak sesuai SNI konsumen yang membeli helm tersebut banyak yang komplain gara gara tidak SNI dan ini sangat membahayakan pengemudi,” pungkasnya.

” Saya minta agar dicek dan ditindak pabrik takira dan bivi apalagi mereka sudah terjual banyak kan itu sangat membahayakan pengemudi. Kenapa saya jadi korban saya kan pedagang memasarkan saja, dan saya dapatkan helm helm tersebut dari pabrik takira dan bivi” pungkasnya.

Kasus utang piutang dan penggelapan juga sangat membuat terlapor tidak terima, sebab kasus tersebut di jadikan pencucian uang, alasan apa yang membuat dijadikan pencucian uang dan penggelapan.

“Saya ada bukti semua pembayaran dan hubungan saya sama pak burhan cuma jual beli barang dan tidak pernah ada perjanjian kerjasama apapun, dimananya saya dijadikan pencucian uang dan penggelapan dan pada saat konfrontasi bersama penyidik dan pak burhan itu bukti bukti yang dijawab pak burhan hanya lisan sedangkan bukti bukti saya jelas dari voice note dan bukti chat chat semua ada,” imbuhnya.

Iwan menjelaskan bahwa terkait utang piutang, dirinya hanya memiliki Rp 300 juta, namun. Dalam tuntutan pelapor meminta Rp 2.5 milyar.

Menurut pria kaca mata ini, permintaan tersebut sangat luar biasa, dengan bukti tidak konkrit ada dari pelapor dan selama ini kirim pun tidak pernah dibuatkan Nota dan bahkan diminta faktur pajak pun mereka tidak mau kasih dan dengan kejadian ini saya banyak dirugikan dari material ataupun inmaterial

Sementara, dalam undang undang Pelapor yang membuat laporan palsu dapat dikenakan pidana sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), terutama Pasal 220 KUHP yang mengatur laporan palsu tentang tindak pidana yang tidak terjadi, dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

Selain itu, pelapor juga bisa dijerat Pasal 317 KUHP yang secara khusus mengatur pengaduan atau pemberitahuan palsu yang dibuat dengan sengaja, dengan ancaman pidana penjara maksimal empat tahun. (.tim/red)