
JEPARA -Ard-news. com– Kepala desa memiliki peranan strategis dalam penyelenggaraan pemerintahan desa dan pelayanan publik. Namun, hal tersebut dinilai tidak tercermin dalam kepemimpinan Kepala Desa Rajekwesi, Legimin. Ia diduga menunjukkan sikap tidak responsif dan cenderung diskriminatif dalam memberikan layanan administratif kepada warga.
Kasus terbaru mencuat ketika Muzaini, warga Mayong, Jepara melaporkan dugaan maladministrasi yang dilakukan pihak desa terkait permohonan sejumlah dokumen penting yang tidak kunjung diberikan. Adapun permohonan yang dimaksud meliputi:
Klarifikasi atau penerbitan ulang Surat Keterangan Kematian atas nama H. Syakur alias H. Ripin bin Suradi yang seharusnya ditulis sesuai nama sebenarnya, yakni almarhum H. Arifin bin Suradi, surat Keterangan Kehilangan Buku Nikah untuk kepentingan pengurusan salinan di KUA, dan salinan Surat Tanah (Letter C) sebagai dokumen pendukung administratif keluarga.
Hingga kini, ketiga dokumen tersebut tak kunjung diberikan. Pihak keluarga menilai pelayanan desa cenderung tidak objektif dan sarat kepentingan. Selain dianggap tidak menjalankan etika kepemimpinan, tindakan tersebut diduga melanggar ketentuan administrasi pemerintahan dan berpotensi menyalahi UU Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Padahal, UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa menegaskan bahwa kepala desa wajib memberikan pelayanan publik secara adil, transparan, serta sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun dalam praktiknya, permohonan administrasi warga justru ditolak dengan alasan tidak berdasar, seperti kewajiban melampirkan tanda tangan seluruh ahli waris, padahal persyaratan tersebut tidak tercantum dalam SOP desa maupun aturan resmi lainnya.
Dugaan penyimpangan tersebut mendapat sorotan dari Direktur Eksekutif Puspolrindo, Yohanes Oci, yang menilai tindakan Kades Rajekwesi,Mayong ,Kabupaten Jepara sebagai bentuk kelalaian administratif.
“Hal ini dapat dikategorikan sebagai kelalaian administrasi. Artinya kepala desa tidak menjalankan kewajibannya sesuai UU No. 6 Tahun 2014. Bahkan, penolakan tersebut dapat berpotensi sebagai bentuk kriminalisasi terhadap hak warga atas dokumen resmi,” tegas Yohanes Oci ketika dimintai keterangannya pada hari Senin, 08/12.
Ia menambahkan, bila tindakan tersebut dilakukan secara sengaja dan berulang, maka dapat masuk kategori penyalahgunaan wewenang.
“Ketika kepala desa sengaja tidak merespons permintaan administratif warga untuk tujuan tertentu, hal itu menimbulkan konsekuensi hukum, baik sanksi administratif maupun pidana, apabila terbukti terjadi maladministrasi yang merugikan masyarakat,” lanjutnya.
Yohanes juga menekankan bahwa kepala desa dapat dianggap melanggar asas good governance jika tidak mengambil langkah korektif, khususnya terkait asas akuntabilitas dan kepastian hukum.
Terkait langkah hukum, Yohanes menyebutkan bahwa “berdasarkan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, masyarakat memiliki hak untuk melaporkan dugaan maladministrasi kepada Ombudsman jika pelayanan publik tidak berjalan sebagaimana mestinya,” lanjutnya.
Sementara itu, Muzaini mengaku jenuh dengan perlakuan pemerintah desa. Ia menyampaikan bahwa dirinya telah berkali-kali mendatangi kantor desa untuk meminta dokumen-dokumen tersebut, namun selalu ditolak tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan.
“Saya dan keluarga sudah berulang kali datang untuk meminta surat keterangan kematian, surat kehilangan buku nikah, bahkan salinan Letter C. Sampai hari ini tidak diberikan,” ujarnya.
Ombudsman sendiri telah mengonfirmasi bahwa laporan dari Muzaini telah diterima dan tengah diproses sesuai prosedur penanganan pengaduan pelayanan publik. (Ard)





