Penulis : Raihan Qoshid Mahasiswa Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta
ARD-NEWS. COM. Jakarta // Sambil menengadahkan kepalanya ke atas, ia menarik nafas begitu dalam penuh dengan harapan tampaknya, di balik kacamata itu matanya berbinar, dan sungguh pertama kali yang ku lihat darinya.
Aku diam dan tidak menanggapi. Di dalam suara tak bersua aku begitu keheranan mampus. Pasalnya begini, apakah sebelumnya ia memang baru pertama kali menyaksikan pemandangan demikian, atau itu sebuah tanda sebuah ungkapan perasaan bahwa “cantik” yang dimaksud adalah ketika suasana berdua terduduk di antara rerumputan liar menjalar dan silir-semilir yang membikin badan kaku menggigil, atau itu hanya basa-basi belaka yang menyempurnakan waktu terbangunnya burung hantu serta city light nun terpampang jauh dari sini. Dan, boleh jadi aku saja yang terbawa suasana. Saja!
Aku juga belum merespon. Sampailah gundah gulana tiba pada puncaknya. Dwerrr! Mana mungkin seorang diri bisa selamat akan persoalan demikian bila tidak melibatkan ahlinya, meskipun berseliweran kabar burung tentang sebuah hubungan, bahwa jangan sampai melibatkan orang lain di dalamnya. Namun, Aku tidak peduli akan isapan jempol yang hanya membikin kepala pening. Sebab duduk perkaranya berbeda. Lantas, Aku panjatkan doa pada dewa cinta agar bisa lekas memahami makna “cantik” itu. Dewa sang penakluk cinta dari Yunani, Eros namanya. Ahlinya segala cinta! Datanglah padaku segera, bimbing aku atas nama cinta dan kasih. Tidakkah kau bisa beri aku mantramu saat ini juga!
“Wahai Eros! Berilah petunjuk bagi hambamu yang dalam kebingungannya mencari jawaban. Ampuni segenap kesalahan demi kesalahan yang tak lekas mengerti akan cinta dan kata cantik. Hamba memohon akan kekuatan yang kau miliki. Hanya padamu semua kebenaran senantiasa terang benderang itu. Hanya padamu hamba bersimpuh,” doa dipanjatkan dalam benak yang tak terdengar siapa pun bahkan ia.
“Sekali lagi, tidakkah bisa kau berikan mantramu saat ini juga!” Aku memohon supaya datang suatu keajaiban tak terduga di tempat orang-orang tak bisa menyombongkan keangkuhannya sebagai manusia. Sungguh tampak kecil manusia bila di hadapannya. Tak ayal manusia mampu menandingi. Demikian juga aku.
Aku juga masih belum mengeluarkan sepatah pun. Cuma bisa menarik nafas dalam-dalam dan sesekali berdeham. Kemudian, ku rogoh saku baju dalam dan meraih sebungkus rokok serta pemantiknya. Hendak ku bakar sebatang rokok tapi urung, sebab kulihat ia begitu menikmati dan rancak akan gemerlap gemilang kawanan bintang juga rembulan yang lagi sempurna bulatnya. Tepat di atas kepala. Dengan begitu, aku tidak ingin menggangu atau merusak ketenangannya itu hanya karena asapku, yang konon, katanya dapat membunuh perokok pasif. Akhirnya, Ku kembalikan sebatang rokok ini pada tempat semulanya. Tak jadi ku bakar rokok yang duhai nikmatnya bila merokok dalam gerisik daun yang bertembang mengalunkan tarian ilalang. Burung Cabak yang tak mau kalah menyumbangkan tembangan nyaring terdengar. Cuit-cuit. Cuit-cuit. Begitu juga iringan derak beringin yang menyeret. Rettt… Rettt… Memberikan ketukan nada yang membuat perpaduan tembang semakin mantap.
“Cantik, ya?” Kini ia bertanya dengan menengok ke arahku sambil memberikan senyuman tipis dari bibir yang pecah-pecah, barangkali Ia kekurangan vitamin C pikirku. Atau boleh jadi kelelahan selama perjalanan yang mengharuskan badan sedikit membungkuk dengan tas setinggi 55 liter yang dipanggul.
“Iya. Sungguh cantik!” Jelas kecantikan yang ku maksud bukanlah tentang keindahan apa yang kita saksikan bersama, melainkan kecantikan itu sesungguhnya berada di wajahmu gumamku.
Kecantikan memang akan selalu membuat seseorang terperangah memandangnya, ditambah itu adalah pandangan pertama, akan dibuatnya terlena jatuh terperosok dalam kemabukan asmara senantiasa terkenang di dalam di pikiran dan perasaan. Tidak ada yang tidak. Kalau sudah terjerat karenanya, apa-apa segalanya akan dipandang tanpa hina. Jantungku berdebar lebih kencang kuatnya bahkan hampir copot, panas-dingin sekujur tubuh menggigil, jelas ini bukan duduk perkara cuaca ketinggian tapi ini lebih dari itu..
Di kedua matanya terdapat mataku begitu juga denganku, ada matanya di mataku. Kita ditelan oleh kehangatan nan teduh sedikit demi sedikit sampai tak terasa kita duduk sudah amat dekat jaraknya. Sejengkal saja. Ku pandangi wajahnya yang tirus serta guratan di antara hidung dan bibir. Tak ada kendur sama sekali di pipi, dan di matanya sungguh begitu indah sayu merayu. Tanpa disadari kepalanya sudah tertidur di bahu kiriku. Begitu denganku yang menyandarkan kepalaku di kepalanya. Akhirnya, kami larut memejamkan mata serta tanganku turut mendekap tubuhnya.
“Teettttt…” Bel pintu kamar berbunyi.
Biasanya setelah bel itu berbunyi akan datang seseorang yang memasuki kamarku. Seseorang tersebut adalah seorang perempuan dengan menggunakan tampilan serba putih dari atas kepala sampai alas kaki membawa sebuah nampan stainless. Setiap dia berjalan menghampiriku derap langkah kakinya terdengar keras serta temponya secara perlahan mendekat amat pelan. Klotakk… Klotakk… Klotakk… Klotakk…
“Pak, sudah saatnya jam makan. Ayo makan, Pak!” Sambil menepuk-nepuk pundak.
“Pak, ayo bangun!” Kali ini dia menepuk-nepuk agak kencang agar aku lekas terbangun dari duduk menelungkup membungkukkan badan di sudut kamar.
Aku tetap bertahan dengan posisi dudukku. Tak mau mendengarkan perintah dari perempuan tersebut. Aku hanya menjawabnya dengan nada parau samar-samar.
“Hemmm…hmiyaaaa. hmiyaaa.” Menuduk-nunduk kepala.
“Kali ini harus makan, ya, Pak!” Perempuan itu menyuruh dengan nada lembut. Dari hati ke hati.
“Sudah sehari bapak tidak makan. Setiap nampan yang berisi makanan dan minuman selalu utuh saat hendak diambil kembali. Kami khawatir betul dengan kesehatan bapak yang akan semakin memburuk,” perempuan itu masih merayu menyuruh agar aku makan.
Aku sedikit terganggu akan kehadirannya, di tempat ini orang-orang disuruh melulu, dicek kesehatannya, diperlakukan layaknya orang di ujung tanduk kepasrahan. Dan, rasa pahit itu yang harus ku telan setiap hari. Aku sangat muak dengan semuanya, aku ingin segera mengakhiri ini semua. Tapi, aku tak kuasa melakukannya. Tubuhku begitu terkulai. Kurus kering. Bahkan mengangkat tubuh saja terkadang harus dibopong lebih dulu oleh beberapa lelaki bertubuh tambun, penjaga tempat ini. Dan, apalagi wajahku ini, terasa semakin kendur saja kulit-kulitnya. Tuk melarikan diri agaknya tak ayal tersampai. Jadi, ku biarkan saja tubuhku terkubur di ruangan berpetak empat serta tembok cat putih ini tak berjendela. Hanya terdapat kipas gantung berderak, kasur yang muat sebadan, meja stainless yang berguna untuk menaruh nampan makanan, ventilasi kecil, dan detik jam yang berdecak.
“Yok, Pak!” Perempuan itu menjulurkan tangannya membantu agar aku bangun.
Aku hanya memandangi tangan itu dengan begitu sinis, tidak merespon apa pun pertolongan dari perempuan itu. Memandangi seolah-olah aku tidak butuh bantuan apa pun. Bahkan juluran tangannya, aku bisa menyelamatkan hidupku tanpa pertolongan orang lain. Perempuan itu akhirnya tak jadi menjulurkan sebab aku menatap tangannya begitu dingin, barangkali dia ketakutan.
“Baiklah kalau Bapak maunya seperti ini, saya tidak akan melarangnya, namun perbolehkan saya periksa kesehatan Bapak terlebih dahulu.”
Aku begitu tersinggung sebab dia tak menghargai kesendirianku, stetoskop hitamnya itu tetap memaksa masuk merusak ketenanganku, lantas darahku tersirap.
“Saya tidak sakit! Kalianlah semua yang sakit dan sebaiknya kalian yang diperiksa. Bukan saya! Saya hanya tidak ingin kehilangan kenangan-kenangan itu. Paham!” Amarahku sudah tidak terbendung lagi, Isak tangis pun menjadi, ku bentak perempuan itu agar lekas pergi.
“Tapi ini penting tuk kebutuhan Bapak!” Sahutnya.
“Aku tidak membutuhkan itu, aku hanya butuh istriku saat ini. Terpenting adalah istriku bukan benda brengsek dan obat-obatan sialan yang harus ku tenggak setiap lima jam sekali!” Tangisanku pecah sedu sedan; tersengal-sengal. Dan, ku dorong sekuat tenaga benda brengsek itu. Perempuan itu terdorong mundur dua tindak dan steteskop terbuang dari genggamannya. Merasa geram kemudian perempuan tersebut sudah tak tertahankan lagi amarahnya. Dia tumpah ruahkan kekesalan itu dengan perkataan yang menyakitkan.
“Dasar pecundang! Harusnya bapak tidak ada di sini, tempat terbaik bagi orang-orang seperti Bapak adalah sama seperti tempat kediaman istri Bapak, ditimbun tanah!” Perempuan itu mendesis.
“Orang seperti bapak tak layak untuk disembuhkan!” Menyelak dan menuding kepadaku.
“Istri bapak sudah dua tahun meninggal, harusnya bapak bangkit akan keterpurukan bukan malah masih berduka begini. Bangkit, Pak! Jangan pecundang jadi lelaki!” Perempuan itu benar-benar tersulut, seperti harimau yang di lepas dari pekarangan habitat aslinya yang melesat jauh. Melampaui jarak pandang. Siap-siap menerjang. Sambil mengambil steteskopnya, Dia tersulut bukan main akan perkataanya nan benar-benar berhasil membuatku semakin terlihat menjadi pecundang di hadapannya. Namun, perempuan itu lekas cepat menyadari akan perkataanya yang sudah kelewat kejam. Alih-alih meminta maaf dan menarik kata setiap yang diucapkan. Membuka kenangan yang telah ditutup rapat. Dia lantas tergopoh-gopoh nyelonong pergi setelah apa yang dia lakukan begitu menyayat hati. “Klotak. Klotak. Klotak. Klotak.” Derap tempo langkah pantofel lebih cepat. “Ngieeekkkk….” Derit engsel pintu. Sebelum dia benar-benar meninggalkan ruangan ini, perempuan itu menyempatkan mengahdapkan badannya ke belakang sambil nengingatanku sekali lagi.
“Jangan lupa di meja sudah tersedia nampan berisi makanan dengan sayur sop, air mineral, dan terakhir, jangan lupa tenggak obatan-obatan Antipsikotik!”
“Sudah tersedia semuanya!”
“Brappp!” ruangan kemudian hening kembali.